Jepang, Omotenashi dan Keindahan

Well, post kali ini emang random thoughts aja, se random judulnya.

Kalian gimana sih kalau dengar kata "Jepang?" Pasti dah kepikiran tentang yang keren-keren, entah itu teknologi, kedisiplinannya, keindahannya dsb. Pokoknya yang baik baik lah ya.

Padahal kalau dipikir-pikir, Jepang ini negara kecil. Penduduknya pun sedikit. Tapi ekonominya melejit. Eh tunggu, melejit?

Nyatanya, di New York Times, ekonomi Jepang saat ini lagi turun drastis. Yap, drastis.
 
Tau event Tokyo Olympic 2020 yang katanya mau diselenggarakan bulan Agustus ini? Kalau yang suka Jepang pasti tau dong tentang ini. Seluruh dunia pun notice banget event ini. Gak kayak pas Asian Games diadain di Indonesia, orang Jepangnya sendiri juga nggak sedikit yang nggak tau tentang ini.

Oke, balik lagi. Diadakannya olimpiade di Jepang, tentu makan dana yang nggak sedikit. Yah, meskipun Jepang ini katanya menempati ranking 3 perekonomian dunia, tetap saja dana yang keluar untuk olimpiade ini habis-habisan. Mereka punya "brand" sebagai negara yang teknologi dan ekonominya maju, tentu dunia akan berharap lebih pada Jepang. Belum lagi, Jepang ini harus "perfect" dalam setiap apa yang dikerjakan. Maka akan memakan waktu juga untuk menyiapkan event ini.

Sebentar lagi satu tahun Reiwa, entah apa motivasi pemerintah Jepang ganti nama tahun (ketahuan ga pernah nyari tau ehe). Banyak yang terjadi dalam waktu berdekatan. Dari mulai angin topan yang melanda hampir seluruh wilayah Jepang pada Oktober lalu, sampai virus Corona yang jumlahnya makin hari makin meningkat di Jepang. Kebayang banget suffernya mereka ketika punya tanggung jawab Olimpiade dan bencana-bencana yang nggak terprediksi, se keren apapun teknologi mereka.

Belum lagi, salah satu pendapatan besar yang mereka peroleh ada di pariwisatanya. Jadi teringat konsep "Omotenashi" yang sekarang digembor-gemborkan lagi. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk profit. Gak dipungkiri, pelayanan Jepang memang nomor 1 untuk ini. Jepang itu beda luar dalem emang. Omotenashi ini memang pelayanan yang mengagungkan wisatawan. Tapi di sisi lain, tentu menyiksa para pekerjanya. Dan menguntungkan yang punya modal. Bisa dibilang, dari luar konsep ini bener-bener bikin turis bahagia, tapi gimana dengan orang yang dipekerjakan?

Dunia kerja di Jepang itu gak main-main lho. Aku sendiri, sih, nggak mau kerja di Jepang. Nggak kuat mental dan fisiknya. Apalagi kalau mau pake hijab syar'i atau sekedar izin buat sholat. Yaudah wassalam mentalku.

Tapi di Jepang sendiri yang kayak gini (beda luar dalem) udah biasa. Sama seperti ketika kita berpikir Jepang adalah negara yang indah, keren, dan sebagainya. Namun, tidak dengan di dalamnya.

Sama seperti ketika Jepang membuat makanan. Mereka menyajikannya dengan rapi, enak dilihat, bagus. Tapi ketika dicoba, rasanya hambar.

Sama seperti ketika kita kagum dengan pendidikan di Jepang. Mereka mendidik siswa untuk mandiri sejak sekolah dasar. Diajarkan untuk piket sekolah, ada pelajaran memasak, dan lainnya. Tapi, pembullyan tetap merdeka di sekolah Jepang. Belum lagi penyakit hikikomori, aksi bunuh diri, seks bebas yang melanda kawla muda di sana.

Sama seperti ketika mereka membuat berbagai macam inovasi untuk dunia. Namun, banyak dari individu mereka yang kebingungan tentang tujuan hidupnya.

Kalau ngeliat Jepang dari dua sisi, jadi agak merasa lebih unggul sebagai orang Muslim. Bahkan, keunggulan seorang Muslim tidak dilihat dari baik buruknya kita oleh standar manusia kebanyakan maupun penampilan. Namun, kita dinilai oleh Sang Pencipta berdasarkan takwa.

Islam pun begitu, nggak boleh kita dzalim ke manusia yang di pekerjakan. Punya aturan yang mengatur hidup manusia biar nggak asal-asalan. Para ilmuwan Islam di zaman daulah tegak, yang kalau dipikir-pikir, tanpa penemuan mereka, teknologi di zaman sekarang itu nggak bakal ada. Pendidikan Islam yang bisa melahirkan generasi seperti Muhammad Al-Fatih. Islam yang indah luar dalam. Hahhh, ternyata di genggamanku ini sudah ada yang sempurna.

Comments

Popular posts from this blog

RESENSI NOVEL AIR MATA TERAKHIR BUNDA KARYA KIRANA KEJORA

Cerpen Terjemahan "Matilah Seperti Sedang Mengincarnya" Karya Hiuro Yukise

H-1 212